Selasa, 12 April 2011

Kesenian Yang Termakan Zaman


Gandrung Banyuwangi berasal dari kata Gandrung, yang berarti tergila-gila atau cinta habis-habisan. Tarian ini masih satu genre dengan tarian seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di Cilacap dan Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, yakni melibatkan seorang wanita penari professional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik atau gamelan. Tarian ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi cirri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan Gandrung, dan anda akan menjumpai patung penari Gandrung di berbagai sudut wilayah Banyuwangi, dan tak ayal lagi Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung.
Tari Gandrung ini sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya.

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan menurut laporan Scholte (1927) instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang dimungkinkan karena ajaran Islam melarang segala bentuk travesty atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.

Sedangkan Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya Gandrung oleh wanita.

Tradisi Gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung, yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian disamping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak oleh era globalisasi.


Tahapan-Tahapan Pertunjukan


Jejer

Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan Gandrung, dimana pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.

Maju

Kemudian setelah acara jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Si Gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari Gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.

Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repen (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.

Seblang subuh

Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan Gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian Seblang Subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali. Sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya Seblang lokento. Justru suasana mistis terasa pada saat bagian Seblang Subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual Seblang. Pada masa sekarang ini, bagian Seblang Subuh kerap dihilangkan, namun sebenarnya bagian ini yang menjadi pelengkap satu pertunjukan tari Gandrung.


SEBLANG

Ritual Seblang adalah salah satu ritual masyarakat Using yang hanya dapat dijumpai di dua desa dalam lingkungan kecamatan Glagah, Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan Olihsari. Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan bersih desa dan tolak bala, agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram. Ritual ini satu genre dengan ritual Sintren di wilayah Cirebon, Jaran Kepang, dan Sanghyang di Pulau Bali.

Penyelenggaraan tari Seblang ini di dua desa tersebut juga berbeda waktunya, di desa Olihsari diselenggarakan satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang bersebelahan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.

Para penarinya pun dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya penarinya harus dipilih dari keturunan penari seblang sebelumnya. Di desa Olihsari, penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq, sedangkan di Bakungan, penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang telah mati haid (menopause).

Tari Seblang ini sebenarnya merupakan tradisi yang sangat tua, hingga sulit dilacak asal usul dimulainya. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa Seblang pertama yang diketahui adalah Semi, yang juga menjadi pelopor tari Gandrung wanita pertama (meninggal tahun 1973). Setelah sembuh dari sakitnya, maka nazar ibunya (Mak Midah atau Mak Milah) pun harus dipenuhi, Semi akhirnya dijadikan seblang selama usia kanak-kanaknya hingga setelah menginjak remaja mulai menjadi penari Gandrung.

Tari Seblang ini dimulai dengan upacara yang dibuka oleh sang dukun desa atau pawang. Sang penari ditutup matanya oleh para ibu-ibu yang berada dibelakangnya, sambil memegang tempeh (nampan bamboo). Sang dukun mengasapi sang penari dengan asap dupa sambil membaca mantera. Setelah sang penari kesurupan (atau kejiman dalam istilah lokal), dengan tanda jatuhnya tempeh tadi, maka pertunjukan pun dimulai. Si seblang yang sudah kejiman tadi menari dengan gerakan monoton, mata terpejam dan mengikuti arah sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang dimainkan. Kadang juga berkeliling desa sambil menari. Setelah beberapa lama menari, kemudian si seblang melempar selendang yang digulung ke arah penonton, penonton yang terkena selendang tersebut harus mau menari bersama si Seblang. Jika tidak, maka dia akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari.

Musik pengiring Seblang hanya terdiri dari satu buah kendhang, satu buah kempul atau gong dan dua buah saron Sedangkan di Olihsari ditambah dengan biola sebagai penambah efek musikal.

Sedangkan dari segi busana, busana penari Seblang di Olihsari dan Bakungan mempunyai sedikit perbedaan, khususnya pada bagian omprok atau mahkota. Pada penari Seblang di desa Olihsari, omprok biasanya terbuat dari pelepah pisah yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah penari, sedangkan bagian atasnya diberi bunga-bunga segar yang biasanya diambil dari kebun atau areal sekitar pemakaman, dan ditambah dengan sebuah kaca kecil yang ditaruh di bagian tengah omprok. Pada penari seblang wilayah Bakungan, omprok yang dipakai sangat menyerupai omprok yang dipakai dalam pertunjukan Gandrung, hanya saja bahan yang dipakai terbuat dari pelepah pisang dan dihiasi bunga-bunga segar meski tidak sebanyak penari seblang di Olihsari. Disamping unsure mistik, ritual Seblang ini juga memberikan hiburan bagi para pengunjung maupun warga setempat, dimana banyak adegan-adegan lucu yang ditampilkan oleh sang penari seblang ini.

berikutnya kesenian saluang :


Orang Minangkabau memiliki tradisi seni pertunjukan yang termasuk paling kaya ragamnya di Indonesia. Acara-acara atau kegiatan-kegiatan yang lazim dilengkapi dengan seni pertunjukan adalah pesta keluarga (seperti perkawinan, khitanan, membuka rumah baru, menobatkan kutua adat baru) serta perayaan-perayaan rakyat (seperti saat panen, meresmikan mesjid, perayaan hari besar agama). Acara-acara tersebut seringkali diawali dengan pawai keliling disiang hari yang biasanya melibatkan pemain-pemain talempong (suatu ensambel gong-gong kecil) dan gendang. Untuk acara keagamaan, musik arak-arakan ini dapat diganti dengan nyanyian keagamaan dengan diiringi rebana.Pertunjukan utama biasanya dimulai malam hari dan dapat berlangsung hingga subuh.

Diantara bentuk kesenian yang ada, yang paling ramai dan mahal adalah randai, suatu bentuk teater yang dibawakan diluar rumah dengan melibatkan sekitar 20 sampai 30 pemain. Randai menggabungkan unsur tarian, musik instrumental, nyanyian lepas, nyanyian naratif, dengan adegan-adegan yang dilakonkan dan dialog-dialog lisan.

Selain itu ada bentuk kesenian lain yang sederhana yang diselenggarakan dalam rumah dengan hanya melibatkan satu atau dua orang penyanyi dan satu atau dua alat musik pengiring. Diantara bentuk kesenian tersebut, ada yang membawakan suatu kisah yang dinyanyikan secara naratif (seperti Dendang Pauah, Sijobang), ada yang dimulai denfan beberapa lagu lepas (non-naratif) tetapi kemudian berubah sifat menjadi kisah yang dinyanyikan (seperti Rabab Pariaman, Rabab Pasisia), serta saluang; bentuk kesenian yang tidak membawakan cerita sama sekali dan hanya terdiri dari lagu-lagu lepas. Cerita-cerita itu-yang sudah sering diketahui oleh pendengarnya-tidak disajikan sebagai hafalan, melainkan diceritakan secara spontan. Unsur spontanitas juga terdapat dalam syair-syair untuk lagu-lagu lepasnya.

Pada umumnya suatu pertunjukan dimulai agak malam, kemungkinan setelah suatu pertunjukan pengantar-musik pop, atau tarian minang yang diringi talempong- dituntaskan. Pada tahap awal pertunjukan seperti pertunjukan saluang, Rabab Pariaman, suasana biasanya ringan, dan sering syair lagunya mengenai percintaan, yang kadang secara sugestif. Tetapi semakin jauh malam menjadi lebih bersuasana nostalgia, melankonis, dan sekaligus memilukan.

Dengan jumlah pemain yang sangat terbatas, bentuk kesenian ini bersuara pelan dan bersifat akrab-cocok untuk tengah malam. Dari pendengarnya dituntut perhatian penuh, tetapi tidak selalu diperoleh: para penonton malah ngobrol, merokok, makan, main kartu dan domino; pada muda-mudi mencuri kesempatan bercumbu rayu. Kalau sudah sampai jam satu atau dua pagi, banyak penonton telah pulang, dan dari yang masih tinggal kebanyakan tertidur. Tetapi beberapa diantaranya masih bertahan duduk dekat dengan para pemain, menyimak syair-syairnya dengan tekun, sambil berdecak kagum pada suatu kalimat yang tepat, menuggu babak-babak cerita selanjutnya.

Untuk dapat merasakan apa daya tarik bentuk kesenian tersebut kepada penontonnya, kita mungkin dapat membayangkan ada seorang aktor professional yang sedang duduk diruang tamu kita, yang selama berjam-jam membawakan suatu cerita atau syair-syair, dengan meyertakan didalam ceritanya nama, tempat, orang-orang dan keadaan sehari-hari kehidupan kita sendiri.

Pada edisi pertama ini, kami menyajikan salah satu diantaranya yakni kesenian Saluang.

Nama Saluang diambil dari nama seruling panjang yang acapkali menjadi satu-satunya alat pengiring yang digunakan pada seni pertunjukan ini. Bentuk kesenian ini (yang kadang-kadang disebut juga Saluang jo Dendang-saluang disertai nyayian) sangat populer didaerah darek dan dikalangan orang-orang darek di perantauan. Kesenian ini selain ditampilkan pada acara perayaan kampung dan acara keluarga, juga sering ditampilkan pada sejenis acara pengumpulan dana malam bagurau.

Saluang itu sendiri adalah sebuah pipa bambu terbuka, panjangnya sekitar 65 cm dengan diameter dalam sekitar 2,5 cm, dengan 4 lobang jari. Pemain, biasanya laki-laki, memegang saluang miring ke bawah dan ke satu sisi. Untuk menghasilkan aliran suara yang tak terputus, pemain tersebut menggunakan teknik nafas “circular breathing” supaya suara tidak berhenti sewaktu pemain menarik nafas.

Sulit menjelaskan sistem laras yang diterapkan pada musik saluang. Beberapa tangga nada dipakai dalam repertoar; intonasi sering tidak stabil; dan tidak ada sistem pelarasan yang mutlak. Untuk saluang dengan nada dasar C=do, kita boleh menganggap tangga nada pokok yang dimainkan sebagai nada do, re, mi, fa, sol. Tapi dalam kenyataannya nada do kadang-kadang cenderung menuju di (1) . Gegitu pula halnya untuk nada-nada lainnya yang diperoleh dengan menutup separoh dari lubang jari. Ada kalanya pemain saluang memainkan nada-nada yang berada diatas dan dibawah nada pokok.

Melodi saluang berbentuk ulangan meskipun syair-syair yang dinyanyikan berubah-ubah. Dalam pertunjukan, pemain saluang selalu didampingi oleh seorang penyanyi (pendendang), yang membawakan pantun. Satu pantun biasanya selesai dalam satu ulangan melodi. Seringkali ada dua atau tiga penyanyi yang tampil:mereka biasanya menyanyi secara bergantian diiringi saluang.

Lagu-lagu saluang digolongkan berdasarkan suasana atau emosi. Sebagian besar masuk ke golonga lagu sedih, dan banyak diantaranya diistilahkan dengan ratok, “ratapan”. Satu sub-kategori dari lagu-lagu sedih dikira berasal dari daerah sekitar Gunung Singgalang; lagu-lagu ini, yang semua judulnya diawali dengan kata Singgalang, mempunyai ciri khas pada saluang, yaitu semacam getaran (oscillation) antara dua nada yang berdekatan. Lagu-lagu sedih selalu nonmetris (tanpa mad). Sebaliknya, dua golongan lagu lainnya-gembira dan ‘setengah gembira’- selau metris.

Selain penggolongan menurut suasana, ada juga pengelompokan yang berdasarkan nada pokok (nada yang memulai setiap perulangan) seperti “tertutup” yakni dengan menutup semua lubang jari, “tutup tiga” yakni dengan membuka lubang terjauh dari mulut pemain, serta “tutup dua” dan “tutup satu”. Kebanyakan lagu dari daerah pantai Sumatera barat (pasisia) tergolong “tertutup”, sedangkan kebanyakan ratok tergolong “tutup tiga”. Untuk lagu-lagu dari daerah Danau Maninjau tergolong pada “tutup dua”, sedangkanlagu-lagu yang diambil dari kesenian Sijobang biasanya tergolong pada “tutup satu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar